Sabtu, 14 Juni 2008

KOSMOLOGI
PENDIDIKAN BERKEBANGSAAN
Java Script & Java Coffee bagi anak bangsa yang sedang berseteru

Melihat kisah murwokolo (red-purbakala), sebagai kosmologi nusantara. Diawali kisah Sang Hyang Wisesa memerintah Sang Hyang Wenang dengan janturan bunyi gema kendi gentanya (gema sangkakala), hingga Sang Hyang Wenang memperanakan Sang Hyang Tunggal yang disebut putra ontang-anting. Sang Hyang Tunggal melahirkan telur jagat yang disebut tigan anom (3 calon generasi terjadinya jaman dan jagat), yaitu Togog, Semar dan Bethara Guru. Kisah telur jagat yang akhirnya meneruskan generasinya, yaitu purusa (budi), atma (rasa) dan prana (pikiran dunia) dalam sebuah terjadinya pengetahuan (pendidikan) dalam rangkaian sebab-akibat.
Dari sisi kisah tersebut, ditemukan sebuah matrix kosmologi yang membidani kepribadian kebangsaan Indonesia yang dilatarbelakangi sebuah perbedaan sistem karakter dan sifat, tetapi dipertemukan dalam satu dharma (bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangwra) yaitu berdirinya jaman dan jagat beserta isi dan fenomenanya. Kosmologi yang didapat dalam peristiwa itu adalah, adanya perhitungan gema hari kendi genta yang bulat dalam slendro dan pelog mewarnai kosmologi nusantara. Slendro menghasilkan hitungan nada 1 yang mewakili arah kejadian awal timur, lahirnya api dan pasaran legi. Nada 2, lahirnya angin/bayu dari arah selatan yang disebut pahing. Nada 3, lahirnya air dari barat dengan pasaran pon. Nada 5, lahirnya tanah/wujud material dari utara atau yang disebut peristiwa wage dan nada 6, lahirnya langit diapit empat penjuru yang disebut Kliwon. Sedangkan nada Pelog, diawali 1 lahirnya tejo dan cahya atau badranaya jatuh hari senin atau candra soma. Nada 2, lahirnya roh hidup ismaya hari selasa/brahma angkara/anggara. Nada 3, bumi/budha atau rabu atau manikmaya. Nada 4, lahirnya wrahaspati/peteng atau kamis. Nada 5, lahirnya lintang atau langit sukra yang disebut jumat. Nada 6, banyu tumpah, tumpak atau saniscara atau sabtu. Nada 7, surya nyawa radete atau minggu.
Formasi gema alam semesta dalam slendro dan pelog melahirkan formasi alam semesta, seperti tata surya dan galaksi, sampai tata surya bintang, yang diwakili 30 Dewa putra Betara Guru, Semar dan Togog yang disebut Wuku. 12 Dewa yang melahirkan pranata mangsa yang terlahir dari sifat roda unsurnya. Lahirnya wara-wara, candra, suda, kamarokam, watak sengkan dan laku-laku unsur, serta unsur hawa dan nafsu alam dan jiwa pikiran, perasaan dan budi manusia, dll. Formasi gempa dalam sebuah janturan murwakala slendro dan pelog tidak berhenti hingga saat ini. Tetaplah mengisi aktivitas alam semesta dan makhluk hidup atau perilaku manusia hingga detik ini.
Secara kosmologi, tujuan pendidikan akan melahirkan hakekat budaya (pola pencerahan budi), sebuah tuntunan dari proses belajar (menyerap kehidupan) dan mengajar (menebarkan pengetahuan), terjadinya kosmik semesta beserta manusia, terbagi dalam tiga calon anom (roda generasi). Bethara Guru, sebuah lakon Guru Besar yang melahirkan generasi pengetahuan yang tidak memiliki pendirian atau kepribadian (RED-pengetahuan yang melekat dengan kekuasaan dan kesombongan spiritual). Togog (Bethara Antaga), lakon Guru Besar bagi generasi pengetahuan bangsa sebrang yang lebih pada kemelekatan duniawi (RED-pengetahuan yang melekat dengan nilai-nilai materialisme atau penguasaan duniawi). Semar, lakon Guru Besar bagi generasi yang berjuang memperoleh kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran melalui jalan penderitaan dan kesengsaraan (usaha dan upaya) untuk membangun jagat dan jaman yang kedamaian dan ketentraman.
Sisi itulah sebuah pendidikan harus memenuhi pengetahuan rekonsiliasi di dalam jiwa Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangwra atau walaupun berbeda-beda cara tapi tetap bertemu dalam dharma yang satu tujuan, yaitu jati diri bangsa. Melihat generasi Guru Besar anom tigan itu, menentukan kehidupan jagat dan jaman kita yang selalu bertaruh pengabdian. Kisah Bethara Guru, sebagai Guru Besar melahirkan Bethara Kala & Durga (kali), hasil dari sebuah pelajaran kehidupan sebagai batas perseteruan ideal prinsip dan persepsi antara benar dan salah yang harus dibatasi peranannya. Dipertemukanlah sebuah pengetahuan yang tanpa batas dan abstrak dibatasi oleh ketidak-abadian atau keterbatasan, agar ditemukan sebuah nilai, definisi, istilah yang disepakati dan mewakili peranan logi/logos nalar manusia. Agar nalar-nalar murni tidak saling bertikai.
Sedangkan togog dan semar ditemukan batasan untuk memisahkan keabstrakan, mitisme sebuah nalar murni yang cenderung absolut dan tanpa batas dengan peristiwa perwujudan Gunung Jamurdipa. Dimana Togog tidak mampu menelan buah pengetahuan (Gunung Jamurdipa), sedangkan semar mampu menelan Gunung Jamurdipa. Dari situlah Togog menentukan pilihan untuk melekat dengan segala bentuk nilai materialisme di dalam ideal dan nilainya. Sedangkan semar ditemukan nilai hubungan antara materialisme dan mentalisme (jembatan nalar jasmani dan rohani). Terlihat ketika Semar selalu bertugas mewujudkan/mewantahkan segala bentuk harapan dan impian yang belum pasti. Kewantahan membahasakan segala yang tidak pasti dan tidak jelas, dengan jalan belajar dan mempraktekkannya dalam karya nyata inilah yang dimiliki oleh semar. Itulah yang disebut parodi matrik sebuah nalar Semar Ngejowantah atau Semar Mbangun Kahyangan.
Inti dasar dari pengertian di atas adalah proyeksi sebuah pendidikan Dharma Ksyatriya tigan anom sebagai titah hidup, yaitu tanggung jawab mengisi kehidupan dengan keseimbangan, keharmonisan dan kedamaian sebagai simpul pengetahuannya atau konteks pembebasan belenggu kebodohan. Oleh daripada itu, diperlukan sebuah metodelogi, yaitu murwokolo atau mengenang sejarah purbakala. Tujuan pokok adalah mengembalikan Dharma Ksyatriya ke dalam fitrahnya masing-masing dalam peran profesinya.
Untuk memberikan stimulan Dharma Ksyatriya maka diperlukan perangkat semangat memori tentang sejarah bangsa. Dharma Ksyatriya sesuai dengan fitrahnya ini diharapkan mampu membangkitkan kesadaran kognisi dan empirik sebuah perjuangan belajar dan mengajar demi kebangkitan nasional. Dengan memilih metoda gaya dari salah satu tigan anom, maka akan kita mengerti gaya nalar kritis kita dalam menterjemahkan nalar murni dalam sebuah logos atau logika. Tentu kenyataan itu sebagai permasalahan inti dalam berkebangsaan, yaitu tugas semua elemen bangsa yang mengisi peran profesinya masing-masing dalam persatuan dan kesatuan bangsa. Agar tidak saling tumpang tindih atau berseteru. Perseteruan anak-anak bangsa dewasa ini yang diakibatkan oleh kemampuan dari batas menyikapi nalar murni, yang cenderung mitis dan absolut atau murni dan terus teguh tanpa henti memperjuangkan absolutisme nalar murni berasal, sekalipun berhadapan. Kegagapan dalam menyikapi nalar murni samahalnya lari dari kenyataan logis, dan hasilnya sebuah pemaksaan/perseteruan yang berakibat sebuah pertikaian. Alangkah indah jika dalam berkebangsaan mampu seperti Semar yang selalu melakukan pengabdian dan melayani. Semar datang di saat goro-goro bukan datang untuk dilayani, tapi melayani. Usaha dan upaya jalan keprihatinan dan kesengsaraan Semar ini dilakukan untuk membenahi bangsa yang carut marut nilai dan tumpang tindih nilai. Jati diri akan terbangun dalam identitas kepribadian bangsa jika anak-anak bangsa mampu menentukan permasalahan nilai’nya. Bergantung diri kita, apakah kita memilih kepribadian yang bernalar mashab murni Togog (tebaran nilai kekerabatan/kooperasi liberal dunia dari mashab demokratian), Betara Guru (tebaran nilai kekerabatan/kooperasi liberal dunia dari mashab republikan) atau Semar (tebaran nilai guru besar yang berpihak pada kekerabatan kepribadian bangsa/membangun jati diri). Silahkan pilih dari model kosmologi pendidikan bangsa kita. Jika anda memilih demi kebangkitan bangsa tentu memilih semar. Artinya sebuah pesan jangan berseteru tapi berusaha dengan keprihatinan membangkitkan vitalitas kebangsaan, agar menemukan jati dirinya kembali.
Pasopati

Dalam Kitab Manik Maya.
Senjata Pasopati berasal dari taring Betara Kala. Taring itu dicabut karena si Kala itu akan memakan Jagadnata satu taringnya lagi menjadi senjata kunto yang menewaskan Gataotkaca. Arjuna menerima Senjata Pasopati dari Betara Guru atau Jagad nata saat Arjuna menjadi Jagonya Dewa dan diberi tugas membunuh Niwatakawaca.

Arti dari Senjata Pasopati di tangan Bhatara Guru adalah kekuatan dahsyat penakluk binatang-binatang dan mahkluk ganas. Dalam Amarakhosa (konstelasi tiada kematian) Candi prambanan Bhatara Guru digambarkan dalam wujud yang disebut Pasopati yang merupakab salah satu dari 48 wujudnya di kosmos.

Hari ini kita mengenali Pasopati dalam wujud keris lurus dengan corak wanda bagus, yang melambangkan keteguhan yang tak tergoyahkan namun sekaligus indah. ketajamannya adalah tajamnya budi untuk membrantas memalaning Jagad dan memayuhayuning Bawono. Pasopati sebagi penakluk dapat diartikan menakhlukkan semua hawa nafsu yang bahaya dan tingkahnya ibarat binatang dan mahkluk ganas. Pasopati merupakan senjata yang tepat bagi seorang Ksatria untuk melaksanakan Dharmanya.

Tentang Jawa

Mahesa lawung KEBO BULE

Semut ireng anak-anak sapi/
Kebo bongkang nyabrang kali bengawan/
Keong kondhang jarak sungute/
Timun wuku ron wolu/
Surabaya geger kepati/
Gegering wong nguyakmacan/
Cinandak wadahi bumbung/
Alun-alun Kartasuro/
Gajah meto cinancang wit sidoguri/
Mati cineker pitik trondol.

Di dalam konteks Ruwatan, cerita satriya sela gumuling dikisahkan tentang kebo mahesa lawung yang setelah dibunuh raden seta kembali ke wujud semula sebagai Dewa Sambu. cerita ruwatan memuat juga cerita tentang kalagumarang yang setelah diruwat berubah menjadi Dewa Brahma. Semua nama yang dicetak miring itu mempunyai arti kerbau atau kebo.(kalau dihutan disebut banteng)

Dalam tradisi Ruwatan dan acara tedak siten, kita kenal juga penyembelihan kambing kendit, dengan menyebelih hewan ini ada kepercayaaan untuk menyelamatkan jiwa yang terperangkap di dalam raga kambing kendit tersebut.
Mahesa lawung di dalam tradisi jawa sebenarnya bukan sekedar hanya diambil oleh dagingnya saja tapi lebih dari itu ada pemaknaan dan laku tirakat serta ruwatan. Atau dapat disebut meruwat dewa yang salah tempat yang menyebabkan segala bencana. baik itu dibidang pertanian bahkan sampai kehidupan negara dan kerajaaan. hal ini ditandai dengan penanaman/larung kepala kerbau.

Tradisi mahesa lawung ini mulai tertera dalam layar sejarah jawa pada jaman dinasti Syailendra-Sanjaya yang tampak dalam arca Durgamahesasuramandini. Kerbau di konteks Syailendra-Sanjaya tidaklah disembelih tapi yang dibunuh oleh durga adalah setan yaksa yang muncul dari mulut mahesa, karena syetan itu telah merasuki Mahesa sehingga menjadi gila. Cerita ini mengingatkan saya cerita tentang Jaka Tingkir yang akan menunjukkan bekti ke keraton Demak waktu itu. Jaka Tingkir memasukkan tanah ke telinga seekor kerbau yang akhirnya mengamuk di kota demak. Kerbau ini akhirnya mati pecah kepalanya dipukul oleh Jaka Tingkir. Singkat cerita beliau segera diangkat menjadi tamtama di Demak. Ada tokoh lain yang karirnya diawali dengan pembunuhan terhadap kerbau, yaitu Ki Gedhe Pemanahan.Tradisi mahesa lawung sekarang ini, hampir mengikuti tradisi tersebut, dibunuh dengan cara disembelih. Sebagai sajian rajasuya.

Dalam sejarah kita mengenal banyak sekali tokoh dengan nama Kerbau seperti, Kebo Anabrang, Kebi Iwa, Kebo Kenanga, Kebo Kanigara, mahesa wongateleng. Semua tokoh itu, mereka adalah para senapati pilih tanding yang telah dan selalu membentengi Singasari dan Majapahit, merajai darat dan lautan di masanya.

Kebo dalam alam pikir kejawaan mempunyai makna yang dalam bukan sekedar uborampe sebuah ritual. Sejarahe wong Kanung mengungkap, Leluhur kita pada awalnya sangat tertarik dengan prilaku kerbau betina yang begitu gemati (Cinta dengan nyawa sebagai taruhan), ngerti (mengerti), dan wigati (penuh perhatian) terhadap gudel-gudelnya dari ancaman binatang liar pemangsa. Sedangkan kerbau jantan berjalan berkeliling melingkari kerbau betina dan gudelnya. Sejak saat leluhur sepakat untuk menamakan kaumnya atau uwongnya, wong jawa (kerbau jantan) dan tanahnya/buminya disebut tanah jawi (kerbau betina).

Sejak menancapnya akar kekuasaan VOC di tanah nusantara pada masa geger Kartasura, PB II terpaksa harus menjauh ke Ponorogo, dan kemudian diangkat kembali menjadi raja dengan konsekuensi harus mengakomodir semua kepentingan VOC. Sejak itulah kerbau bule bertahta di hati dan anganangan kita. kita menyia-nyiakan kerbau hitam yang berkeringat di sawah, begitu sabar atau saking bodohnya dan selalu tergeletak mati tersembelih dan kepalanya menjadi tumpuan pijakan jembatan atau bangunan. Orang-orang jawa sering memunculkan ungkapan "bodo leya-leyo koyo kebo" ( Bodoh nya seperti kerbau) kalau melihat seorang anak gobloknya setengah mati. Pujangga besar terakhir jawa telah menuliskan Jangka atau ramalan tentang jaman edan. Jaman edan tanda-tandanya adalah "kebo nusu gudel" banyak orang-orang tua meminta atau perlu nasihat dari orang-orang muda.